Bukan Orang Kedua

Belum kutemukan sapaan mentari pagi. Cahayanya pun masih setengah malu-malu menampakkan diri. Ku raih handpohone yang sejak kemarin sore ku abaikan. Sejak kudapati untuk kesekian kali dia dan wanita itu memamerkan kemesraannya dimedia social. Sakit! Karena aku  juga kekasihnya.
“Tuhan, beri aku hati lebih kuat dari yang Engkau  kira” Batinku
Aku tak begitu mengharapkan menjadi satu-satunya. Tidak begitu baik dipilih untuk meninggalkan orang lain . Aku sudah biasa.
Message : “20 menit lagi aku kabari. I love you”
Aku lebih memilih tidak membalasnya, lebih baik menunggu 20 menit lagi daripada membuat wanita itu meradang  jika melihat  pesan  singkatku.
Entah siapa yang utama atau siapa yang diduakan.  kurasa dia mendapat ruang tamu yang lebih teduh dihati orang yang sama-sama kami cintai itu.
Sudah hampir 22 bulan aku menjadi kekasihnya. Lebih tepatnya menjadi kekasih selundupan. Jika kuingat lagi, masih terasa sakit saat pertama kutahu kalau aku bukan satu-satunya yang menunggu kabarnya setiap pagi, bukan satu-satu yang bersandar dibahunya ketika sedih, bukan satu-satu yang memanggil namanya sebagai cinta. Semakin sakit karena aku mengetahinya setelah perasaanku sudah sangat dalam untuknya, terlalu bodoh karena menggantungkan kebahagiaan kepadanya.
“Lama banget buka pintunya?”
“Gak selama aku nunggu kabarmu semalam kan?”
“Iya aku minta maaf. Lani emang korup waktu semalam. Dia lagi sakit”
“Aku mau makan” mengalihkan dgn jutek
“Iya, ayok kita pergi” sambil mengusap rambutku
Sepanjang jalan aku terpikir oleh rasa sakit lani semalam. Semoga memang lebih sakit dari yang kurasa. Mungkin terdengar jahat atau tega, maksudku karena hampir seluruh perhatian Dandi menghujan untuknya malam tadi. Tak sedetikpun disempatkannya untuk aku. Mubazir jika sakit lani hanya sakit perut atau sakit gigi, apalagi pura-pura.
***

2bulan lagi anniversary ku dengan Dandi yang ke-2.
“Apa mungkin semanis yang pertama? Saat aku masih satu-satunya.
Pikiran yang menghantuiku bahkan semakin kejam dari itu.
“Apa mungkin dia masih mengingatnya?”
Aku tak terlalu suka menganggap ini cinta segitiga. Aku lebih menyebut ini perang dunia.
Pernah sekali Lani mendapatkan nomerku di log panggilan hp Dandi. Wanita itu benar-benar meradang karena yang dia tau aku hanyalah masalalu yang sudah putus sejak setahun lalu. Gila memang.
Menurut Dandi, jika dia membandingkanku dengan Lani. Akulah yang katanya dewasa, sabar, tenang dan perhatian. Kurang satu “Bodoh” (kataku) Sedang Lani manja, selalu ingin diperhatikan dan agak meledak-ledak emosinya tapi tetap saja Dandi memilihnya untuk menjadi rivalku.
Tidak semua apa yang Dandi kira selama ini benar. Aku tidak tenang karena setiap kali dia mengabaikanku, aku selalu butuh sapu tangan. Aku lebih sering menyalahkan diriku sendiri, kenapa tak menyerah saja untuk pergi.
Sampai kutahu, Dandi menomor duakan aku karena kesabaranku.
“Apa aku harus memberontak seperti Lani”? batinku liar
***

Lani sakit. Kuharap ini bukan  ijabah dari salah satu doaku, bukan!
Lani mengidap kanker darah. Entah bagaimana awal pasti ceritanya. Saat mendengar ini dari Dandi, aku seperti ingin merasa menjadi Lani. Tak hanya iba, aku juga ingin menjadi alasan wajah pucat Dandi ketika menceritakan tentang kekasihnya. Aku terenyuh.
“Iya jaga aja dia baik-baik” Lirihku
“Maaf  kalau waktuku semakin kurang buat kamu. Tapi aku janji..”
“Jangan berjanji apa-apa, kita bukan baru  mau jadian atau sedang pendekatan”
“Aku juga gak mau ada diposisi ini” Jawab Dandi lirih
Sedikit ada rasa muak mendengar kalimat terakhir Dandi seperti itu. Dia bukan tak bisa memilih, Dia manusia pilihan yang sebenarnya banyak pilihan.
Aku semakin tak bisa apa-apa sekarang. Selain menunggu apa yang kutakutkan tiba.
Handphone Dandi ditanganku, kulihat satu per satu foto Lani. Kurasa wanita itu benar-benar sakit. Lebih dari sakit perut atau sakit gigi, aku percaya dia mengidap kanker.
Badannya kurus, layu kering. Jelas saja jika Dandi begitu menjaganya.
Kubayangkan jika aku sakit seperti lani. Bukan untuk mendapat perhatian yang sama, tapi sakit fisik yang dia rasa mungkin aku tidak akan sekuat dia.
“Sayang, tadi aku bawa sarapan tuh didapur” Tersenyum teduh
“Kita makan sama-sama kan?” penuh harap
“Aku sudah tadi di RS”
“Iyadeh sebentar lagi”
Aku senang, setidaknya rumah ini masih dandi anggap sebagai rumahnya. Dari awal memang dia yang memilih rumah  ini sebagai hunianku selama saat pertama mulai studi di Palu. 2 kali seminggu dandi menyempatkan untuk datang kesini, sekedar mandi, mengantarkan makan, atau menemuiku untuk memastikan kabar baikku. Kurasa dia akan tetap mencintaiku walau tak semanis dulu.
***

Besok adalah anniversaryku dengan Dandi.
Tapi sudah seminggu ini Aku tak mendapatkan kabar dari dia. Pesan singkatku tak dibalas, apalagi menemuiku seperti seharusnya.
“Apa mungkin?”
Jika air mataku lirih dengan beribu tanda tanya, bukan lagi jadi sesuatu yang menyedihkan. Aku memang cengeng. Lemah jika semua tentang Dandi.
Mungkin wanita itu benar-benar tak bisa Dandi tinggalkan walau semenit. Dia benar-benar menyita waktu kekasihku. Dia selalu punya alasan untuk kubenci.
Aku sedikit lelah hari ini. Kubiarkan semua larut dalam pembaringanku. Aku tak yakin jam 00 nanti ada lilin menyala didepan pintuku.
“Turut berduka yah dand, be strong”
“Kita sama-sama doain yang terbaik buat Lani disana”
“RIP Melani Sutra”
Ini apa? Bahkan aku tak percaya pada apa yang baru saja aku baca. Kutemukan ucapan duka di wall facebook Dandi. Sulit kupercaya secepat itu Lani kalah oleh penyakitnya. Aku menangis.
Siapapun dan bagaimanapun dia, aku tak pernah mencoba menampakkan diri didepannya sebagai kekasih Dandi. Sebenci apapun aku tak berniat mengahancurkan kebahagiaannya. Dia tak salah.
Message : “Ke pemakaman aja siang ini. Maaf”
Pesan masuk dari Dandi ini tak lagi mengejutkanku. Mungkin bukan saatnya merayakan hari bahagia itu. Tidak lagi penting ini anniversary atau tidak. Aku akan menemui Lani diperistirahatan terakhirnya. Semoga kedatanganku tak menyakiti Lani.
***
Sejak hari penuh duka itu aku  memilih untuk mengurung diri, aku benar-benar masih tak percaya jika wanita bernama Lani itu telah tiada, bukan hanya hilang dalam hidup kekasihku tapi juga tak lagi ada dalam lingakaran waktu yang akan kulewati bersama Dandi.
Sudah seminggu aku tak menatap layar monitor yang biasa kugunakan untuk berfantasi didunia maya, juga telfon genggamku pun tak ketahui dimana rimbanya.
Sejenak aku terpikir akan keadaan Dandi. Mungkin saat ini dia sedang menatapdengan mata berkaca frame demi frame foto nya bersama Lani ataupun sedang duduk disamping batu nisan Lani.
~I’ve living with a shadow overhead I’ve been sleeping with a cloud above my bed~
Music Hugh Grant dan Haley Bennett  yang menjadi nada panggilan khusus untuk Dandi berbunyi
Aku memilih untuk mengangkat telfonnya pada panggilan ke 7. Beribu pertanyaan dan pernyataan dicerca nya untukku.
Akhirnya Aku mengerti mengapa Dandi mengutamakan lani selama ini, juga besarnya keseriusannya padaku.
Aku tak pernah sebahagia ini, Dandi kini hanya untukku. Tak lagi kami pernah memperdebatkan orang ketiga dalam hubungan kami. Aku bukan yang kedua, aku satu-satunya.

Comments

Popular posts from this blog

Ingin mengenal PMII ? Simak Fakta Menarik Berikut Ini

Suka Nongkrong? 7 Tempat Hits Ini Bisa Jadi Referensi Kamu

6 Selebgram Ini Jadi Idola Pengguna Instagram Masa Kini, Yuk Intip Kisahnya!